pondok pesantren ihyaul ulum ddi baruga

This WordPress.com site is the bee's knees


Tinggalkan komentar

Usai UN Santri dapat Tausiyah

Usai UN Santri dapat Tausiyah

Pelaksanaan Ujian Nasional 2013 tingkat Madrasah Aliyah di Pondok Pesantren Ihyaul ‘Ulum DDI Baruga telah usai. Tak seperti biasanya, usai pelaksanaan ujian tahunan ini santri dan santriwati mendapatkan tausiyah dari Pimpinan Pondok Pesantren, KH. Ismail Nur. Tausiyah ini disampaikan di hadapan santri dan santriwati usai melaksanakan shalat dzuhur secara berjamaah.
Dalam tausiyahnya, KH. Ismail Nur menyampaikan harapannya kepada santri dan santriwati yang selama ini mengikuti jenjang pendidikan di pondok pesantren agar tetap menjaga kualitas keilmuan dan agamanya. Seperti apa yang telah diajarkan selama ini oleh para ustadz dan ustadzah di pondok pesantren ini.

“Pertama yang ingin kami sampaikan adalah kiranya ananda semua dapat menjaga dan senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaannya. Karena kita di pondok pesantren telah banyak diajari tentang bagaimana beragama dan melihatnya dengan berbagai ilmu pengetahuan. Dengan tetap menjunjung tinggi ajaran agama, sekiranya ananda semua insya Allah akan tetap dalam koridor yang selalu mendapat rahmatnya,” ujarnya.
Photo3668
Selain itu, kepada santri dan santriwati dirinya menekankan, agar santri dan santriwati dalam masa menunggu hasil pengumuman ujian nasional untuk mengisi waktu dengan hal-hal yang bermanfaat. Misalnya tetap memperbanyak amalan-amalan yang sifatnya akan menguatkan mental santri dan santriwati.

“Diharapkan kepada ananda semua jangan luput untuk mengisi hari-hari menanti pengumuman dengan kegiatan amaliyah. Karena semua itu semata-mata akan menguatkan mental kita menghadapi berbagai persoalan yang datang. Jadi jangan terlena dengan euforia pasca ujian dengan mengisi waktu dengan hal-hal yang tak bermanfaat,” katanya. (Humaspontren/Jib)


Tinggalkan komentar

SEJARAH BERDIRINYA PONDOK PESANTREN “IHYAUL ‘ULUM” DDI BARUGA KAB. MAJENE SULAWESI BARAT

Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Sudirman, S. Ag., S. PdI (Peg. KUA Kec. Banggae) atas perkenannya memberikan tulisan ini, dimana kami mengutip dari Skripsi beliau. Jazakumullah Khairan Katsira…(admin).

Berikut sejarah panjang perjalanan PP. Ihyaul ‘Ulum DDI Baruga, yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia khususnya di tanah Mandar, seperti Peristiwa Pembantaian Galung Lombok dan perjuangan GAPRI 531 yang berpusat di Baruga.

  • Sejarah Lahirnya DDI di Kabupaten Majene

Sejarah lahirnya Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) di Sulawesi Selatan dan sekitarnya tidaklah dapat dipisahkan dari peranan dua tokoh ulama besar Sulawesi Selatan, yaitu Andonggurutta1 KH. As’ad dan Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle yang mendidik dan melahirkan ulama-ulama di berbagai daerah di Sulawesi.

Sekembalinya Andonggurutta KH. As’ad dari Mekah atas permintaan masyarakat dan sanak keluarga, beliau kemudian mendirikan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di Sengkang. Kemasyhuran beliau yang semakin tersebar akan kedalaman dan penguasaannya pada ilmu-ilmu agama menjadikan Sengkang pada waktu itu sebagai kiblat pendidikan para pencari ilmu di berbagai daerah termasuk Majene. Dari didikan beliaulah lahir ulama-ulama besar Sulawesi, di antaranya Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle, Andonggurutta KH. Abdu Pabbaja, Andonggurutta KH. Daud Ismail, Andonggurutta KH. Yunus Maratan, Andonggurutta KH. Ali Yafi, Andonggurutta Opu Ambe’na Ino dan ulama-ulama lainya.2

Karena semakin membludaknya murid yang datang ke Sengkang, sehingga Andonggurutta KH. As’ad mengangkat beberapa orang murid seniornya untuk membantu beliau mengajar dan mendidik di MAI Sengkang, tercatatlah di antaranya Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle.3

Perkembangan selanjutnya menghendaki agar pendidikan di Sulawesi Selatan terus dikembangkan, sehingga tibalah masanya Andonggurutta KH. Ambo Dalle pindah ke Soppeng Riaja atas permintaan masyarakat Barru akan kehausannya pada ilmu agama. Pokkali Soppeng dan Qadhi Soppeng kemudian mendatangi Andonggurutta KH. As’ad di Sengkang dan mengajukan permintaan masyarakatnya berkali-kali pada beliau. Akhirnya setelah keputusan diserahkan sepenuhnya kepada Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle, Andonggurutta KH. As’ad dengan berat hati melepaskan murid kesayangannya untuk berkiprah di tengah masyarakat Mangkso. Setibanya di Mangkoso, Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle langsung mendirikan MAI yang difasilitasi langsung oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Dan dalam waktu singkat memiliki murid yang sangat membludak jumlahnya.4

Menyebarnya para alumni MAI Sengkang dan MAI Mangkoso di berbagai daerah yang mendapat pengakuan masyarakat akhirnya memunculkan keinginan masyarakat di berbagai wilayah untuk membuka cabang MAI di daerahnya masing-masing, termasuk di Baruga Kabupaten Majene.

Wacana pendirian cabang MAI yang semakin menyuara, ternyata tidak mendapat tanggapan dari Andonggurutta KH. As’ad, bahkan dengan secara tegas menolaknya dengan alasan utama ingin menjaga dan mempertahankan kualitas MAI Sengkang. Lain halnya dengan Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle, beliau justru merespon wacana tersebut dengan alasan bahwa tidak ada salahnya mendirikan madrasah di berbagai daerah untuk tingkatan tertentu. Meskipun sikap Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle berbeda dengan sikap gurunya Andonggurutta KH. As’ad, namun beliau tetap menjaga sikapnya sebagai wujud penghormatan yang tinggi kepadanya. Akhirnya, atas inisiatif Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle dibukalah cabang-cabang MAI di berbagai daerah termasuk di Baruga Majene.5

Untuk sejarah MAI Baruga lebih lanjut, penulis mengklasifikasikan perjalanan sejarahnya dalam beberapa fase, mulai dari sejarah berdirinya hingga berkembangnya menjadi pondok pesantren yang masih terus eksis membina murid sampai saat ini meski di tengah perjalanan dipenuhi oleh hamparan “kerikil-kerikil tajam”.

  • Sejarah berdirinya MAI Baruga sampai peristiwa pembunuhan massal di Galung Lombok

 Sejak tahun 1937, beberapa orang murid yang sudah menyelesaikan studinya di Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang Kabupaten Wajo yang dipimpin oleh Andonggurutta KH. Muhammad As’ad. Beberapa orang murid dari Majene yang telah kembali pada waktu itu, antara lain; Andonggurutta Kyai Abdul Waris, Andonggurutta Kyai Ma’ruf, Andonggurutta Kyai Abdul Rahim, Andonggurutta Kyai Muhammad Nuh dan sebagainya.

Keadaan masyarakat di Baruga pada waktu itu telah mulai terlihat adanya gejala kemerosotan Akhlaq generasi muda, sehingga salah seorang tokoh masyarakat bernama Fatani Tayyeb berinisiatif untuk mengusulkan pendirian sekolah agama di Baruga dengan menyampaikan ide tersebut kepada para alumni MAI Sengkang dan MAI Mangkoso.6

Dalam pertemuan yang dihadiri oleh Andonggurutta Kyai Abdul Waris, Andonggurutta KH. Ma’ruf, Andonggurutta Kyai Abdul Rahim, Hasan (Pua’ Raehang), Abdul Waris dan Jalaluddin (Jalunding), tercapailah kata mufakat untuk mengadakan musyawarah rencana pendirian MAI di Baruga yang akan dirangkaikan dengan acara peringatan Isra’ Mi’raj yang pada waktu itu sebentar lagi akan diperingati.7

Setelah peringatan Isra’ Mi’raj pada tahun 1946 M., acara pun kemudian dilanjutkan dengan musyawarah rencana pendirian MAI di Baruga. Dalam pertemuan tersebut ternyata sebagian peserta musyawarah meragukan kemampuan yang ada, bahkan mengaggap keinginan dan rencana tersebut sebagai angan-angan belaka yang tidak akan pernah tercapai. Mereka yang kurang yakin berargumen dengan merujuk pada pengalaman sebelumnya, di mana Pokkali Majene juga pernah mendirikan sekolah agama yang memiliki tenaga pengajar dari ulama-ulama yang datang dari Mesir, Sumatra dan ulama-ulama Majene sendiri. Sekolah tersebut hanya mampu bertahan dalam waktu singkat, yaitu selama tiga tahun saja. Mereka beranggapan bahwa gerakan para ulama yang tersohor saja berhenti di tengah jalan, terlebih lagi dengan kita nantinya. Karena pernyataan-pernyataan yang bernada pesimis tersebut, sehingga semangat yang menggebu-gebu untuk mendirikan MAI akhirnya mulai pudar, dan akhirnya musyawarah tersebut berakhir tanpa mendapatkan hasil apa-apa selain rasa pesimis.8

Dua hari kemudian Andonggurutta Kyai Muhammad Nuh (Imam Segeri) sengaja datang menemui Fatani untuk memastikan informasi yang telah beliau dengar dari buah mulut masyarakat tentang musyawarah rencana pendirian MAI di Baruga. Setelah bertemu dengan Fatani bersama para alumni MAI Sengkang dan MAI Mangkoso, mereka kemudian menceritakan keinginan tersebut dan respon sebagian peserta musyawarah dalam pertemuan yang baru saja mereka adakan. Mendengar penjelasan yang bernada pesimis tersebut, Andonggurutta Kyai Muhammad Nuh (Imam Segeri) memberi nasehat untuk mewujudkan cita-cita mulia tersebut. Beliau mengingatkan bahwa setiap orang yang ingin memperjuangkan kebaikan dan ajaran Islam, pasti akan menghadapi banyak tantangan atau rintangan. Jangankan kita sebagai manusia biasa, Nabi Muhammad SAW saja seorang rasul atau utusan Allah mengalami hal yang sama, bahkan tantangannya jauh lebih berat dari tantangan yang kita hadapi. Mendengar nasehat Imam Segeri tersebut, semangat yang berapi-api yang hampir padam dalam diri para pemerakarsa tersebut akhirnya kembali berkobar dan menyala-nyala.9

Begitu kuat dan bulatnya tekad untuk mendirikan MAI, hingga dalam waktu singkat terkumpullah dana Rp. 116 (seratus enam belas rupiah) yang didapat dari hasil pengedaran les sumbangan yang diedar oleh Jalaluddin (Jalunding). Dari dana yang telah berhasil terkumpulkan tadi, kemudian diserahkan kepada Hasan (Pua Raehang) dan Andonggurutta Kyai Muhammad Nuh untuk membiayai perjalanan keduanya menuju Mangkoso sebagai utusan yang ditunjuk oleh pemerakarsa dengan maksud menemui langsung Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle dengan tujuan membicarakan keinginan masyarakat Baruga mendirikan MAI di Baruga sekaligus memohon restu dan bantuan tenaga pengajar dari kalangan murid-murid beliau. Setibanya di Mangkoso keduanya sengaja bermalam di rumah Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle selama dua malam untuk membicarakan maksud tersebut.10

Berselang beberapa waktu setelah kepulangan dua utusan di atas, Andonggurutta Mustamin dan seorang temannya (nama tidak diingat) murid Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle yang diutus ke Toli-Toli untuk berda’wah singgah di Baruga untuk menyampaikan pesan bahwa pada bulan Ramadhan nanti akan datang utusan Andonggurutta yang bernama Abdul Rasyid seorang penghafal al-Qur’an 30 juz. Momentum kehadiran kedua utusan dari Mangkoso untuk Toli-toli yang singgah di Baruga ternyata tidak disia-siakan. Masyarakat Baruga kemudian berkumpul di masjid untuk mendengarkan ceramah dari utusan MAI Mangkoso tersebut. Usai pelaksanaan shalat zhuhur secara berjama’ah di masjid, Andonggurutta Mustamin pun berdiri memberikan ceramah yang membuat para jama’ah terkagum-kagum mendengarnya. Karena antusias yang besar dari masyarakat Baruga untuk mendapatkan pelajaran dari beliau, sehingga perjalanannya ke Toli-toli harus tertunda selama lima hari di Baruga untuk memenuhi permintaan masyarakat. Begitu tingginya penghormatan dan penghargaan masyarakat pada keduanya, sampai-sampai beberapa ekor kambing pun sengaja disembelih sebagai wujud rasa syukur atas wejangan-wejangan agama yang telah diajarkan oleh keduanya. 11

Tidak lama setelah kepulangan kedua utusan MAI Mangkoso tersebut, bulan Ramadhan pun tiba dan tepat pada hari kedua puasa Andonggurutta Abdul Rasyid utusan dari MAI Mangkoso pun tiba di Baruga bersama kedua temannya bernama Andonggurutta Yahya dan Andonggurutta Saharuddin untuk berdakwah sebulan penuh di Baruga. Setelah Ramadhan usai, utusan tersebut pun kembali ke Mangkoso.

Pasca kepulangan utusan MAI Mangkoso tersebut, masyarakat Baruga kemudian kembali yang kedua kalinya mengutus dua orang utusan ke Mangkoso untuk menemui Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle, yaitu H. Syarif dan Hasan (Pua Raehang). Maka datanglah dua orang utusan ke Baruga, yaitu Andonggurutta Sufyan Toli-toli sebagai guru bantu dan Andonggurutta Muhammad Shaleh Bone sebagai kepala sekolah yang dimandat langsung oleh Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle yang diantar oleh Andonggurutta Muhammad Nasir. Kedatangan utusan MAI Mangkoso tersebut menandai berdirinya MAI di Baruga secara resmi sebagai cabang dari MAI Mangkoso.12

  • Keadaan murid angkatan pertama dan para murid yang masih hidup

MAI Baruga di awal berdirinya memiliki jumlah murid angkatan pertama mencapai 137 orang, setahun kemudian kembali menerima 159 orang, sehingga keseluruhannya berjumlah 296 orang yang terdiri dari anak-anak, remaja, pemuda dan orang tua yang berdomisili di Baruga dan daerah sekitarnya.13

Menurut pengakuan H. Zainuddin Muhammad, bahwa murid MAI Baruga angkatan pertama yang masih hidup sampai sekarang adalah Andonggurutta KH. Ahmad Ma’ruf, H. Zainuddin Muhammad, Hj. Sulaehah Imran, dan Abdullah (Wewerang Plores)14. Pernyataan ini diluruskan oleh Andonggurutta KH. Ahmad Ma’ruf (seorang murid yang diklaim sebagai murid angkatan pertama di atas). Beliau menuturkan bahwa dirinya adalah murid angkatan kedua MAI Baruga. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa sebenarnya yang termasuk dalam kelompok murid angkatan pertama MAI Baruga adalah:

  1. Shiddiq (Pua Rasnah)
  2. Salama’ (Pua Sakir)
  3. Abdullah Nuh (Anak dari Imam Segeri)
  4. Zainuddin Nuh (Anak dari Imam Segeri)
  5. Abdul Rahim (Mantan Imam Segeri yang kedua)
  6. Muhammad (Mantan Imam Segeri yang ketiga)
  7. Abdullah (Pua Rajang)
  8. Umar Gani (Imam Simullu)
  9. Sanamba (Kakak Umar Gani)
  10. Hamidi,
  11. dll.15

Enam bulan lamanya proses kegiatan belajar-mengajar di MAI Baruga berjalan dengan lancar, hingga terjadinya peristiwa korban 40.000 jiwa di seluruh wilayah Sulawesi Selatan, salah satu kekejaman yang dilakukan oleh Belanda di bawah komando Westerling yang sangat meremukkan hati rakyat Sulawesi. Di tanah Mandar peristiwa tersebut dikenal dengan istilah pembantaian Galung Lombok pada tahun 1947. Dalam peristiwa ini, para tokoh pencetus berdirinya MAI Baruga, di antaranya; Andonggurutta Muhammad Nuh (Imam Segeri), Andonggurutta KH. Ma’ruf dan Abdul Waris beserta kedua guru yang ditugaskan oleh Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle gugur sebagai syuhada dan kusuma bangsa bersama rakyat Mandar lainnya dalam peristiwa yang sangat sadis dan biadab tersebut.16

  • Perubahan nama dari MAI ke DDI dan keadaannya pasca peristiwa Galung Lombok sampai Hijrah ke kota Majene

Setelah wafatnya kedua utusan dari Mangkoso dalam peristiwa pembantaian Galung Lombok, MAI Baruga mengalami kevakuman hingga kembalinya Andonggurutta KH. Abdul Rahim bersama Andonggurutta KH. Abdul Hafidz (Guru Papi), Andonggurutta KH, Abdul Hafidz Imran dan guru-guru lainnya yang selamat dari peristiwa pembantaian tersebut.17 Merekalah yang kemudian kembali melanjutkan dan mengembangkan MAI Baruga.

1. Perubahan Nama dari MAI Baruga ke DDI Baruga

Perbedaan pendapat antara Andonggurutta KH. As’ad dan Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle dalam menanggapi wacana pendirian cabang MAI di berbagai daerah, sebagaimana yang telah diungkap sebelumnya, ternyata tidak menghalangi keinginan Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle untuk merespon wacana tersebut. Beliau dapat memahami alasan gurunya, namun beliau tetap berpendapat bahwa kehadiran madrasah untuk tingkat tertentu dapat saja dilakukan.18

Atas inisiatif Andonggurutta KH. M. Daud Ismail (Qadhi Soppeng), Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle dari Mangkoso dan Andonggurutta Syekh Abdul Rahman Firdaus dari Pare-Pare bersama Andonggurutta KH. Muh. Abduh Pabbajah dari Allakkuang serta ulama lainnya, dibentuklah suatu kepanitiaan peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. yang juga merangkap sebagai panitia pelaksana musyawarah alim ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah se Sulawesi Selatan di Watan Soppeng. Yang akhirnya pada tanggal 17 Februari 1947 M. bertepatan dengan tanggal 16 Rabi’ul Awal 1366 H. kegiatan tersebut pun dapat terlaksana dengan sukses.19

Salah satu keputusan penting dari musyawarah tersebut adalah perlunya mendirikan suatu organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan usaha-usaha sosial untuk membina pribadi muslim dan membangun jiwa patriotisme rakyat Sulawesi Selatan. Sebagai realisasi dari keputusan musyawarah tersebut, maka lahirlah organisasi Islam dengan nama Darud Da’wah Wal Irsyad yang berada di bawah kepemimpinan Andonggurutta KH. Ambo Dalle.20

Berdirinya organisasi ini ternyata ikut mempengaruhi cabang-cabang MAI, termasuk MAI yang ada di Majene yang berpusat di Baruga juga ikut berubah dan berafiliasi ke DDI dan tercatat sebagai cabang ke V.21

2. Hubungan DDI Baruga dengan Keberadaan GAPRI 5.3.1. Baruga

Sebelum berdirinya MAI Baruga tahun 1946, masyarakat Baruga yang berusia remaja dan dewasa sejak tahun 1945 telah melibatkan diri dalam kegiatan bela negara.

Irama yang sebelumnya dikenal sebagai organisasi sosial yang bergerak di bidang ekonomi, setelah pergolakan kemerdekaan sebagian pengurus dan anggotanya kemudian bergabung dalam Gabungan Pemberontak Rakyat Indonesia (GAPRI) 5.3.1. dan para pengurus yang mengelola DDI Baruga juga adalah anggota yang terlibat dalam GAPRI 5.3.1. di Baruga. Kehadiran GAPRI 5.3.1, merupakan pencerminan hasil rumusan kaum nasionalis-agamis yang tercermin dalam kode 5.3.1, yaitu:

Lima (5) bermakna lima kepulauan besar dari wilayah RI wajib di bela, lima menjadi sendi dasar hukum Islam yang harus diwujudkan dalam pengamalan shalat lima waktu.

Tiga (3) merupakan rangkaian kehidupan nyata untuk diwujudkan oleh pribadi muslim, yaitu; iman, Islam dan ikhsan; puncak perwujudannya pada kerelaan mengorbankan fikiran, harta dan jiwa raga untuk tegaknya satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa.

Satu (1) bermakna tujuan organisasi ini adalah satu, yaitu Indonesia merdeka yang berdaulat; puncak kebaktian hanyalah kepada Allah Yang Maha Esa semata.22

Baruga merupakan pusat gerakan ini, sehingga dalam proses selanjutnya sangat sulit membedakan antara GAPRI 5.3.1 dan DDI Baruga. Akhirnya pihak Nica atau Belanda yang mengetahui gerakan ini dan keterlibatan para pengelola DDI di dalamnya memerintahkan penutupan DDI pada tahun 1947 dan Andonggurutta Kyai Abdurrahim dan Andonggurutta KH. Abd. Hafid Imran kemudian dijebloskan ke penjara, dengan tuduhan telah menghasut rakyat dan melakukan gerakan bawah tanah.23

Pasca kedua ulama di atas dijebloskan ke dalam penjara, Baruga terus mengalami masa ketidakamanan disebabkan adanya pergolakan DI-TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia) yang terjadi di seluruh daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.24 Pada masa ini, posisi DDI sangat terjepit oleh kehadiran DI-TII yang berideologi Wahabiah dan sangat berseberangan dengan paham ideologi DDI yang beraliran Ahlussunnah wal jama’ah. Karena ketidakstabilan tersebutlah yang kemudian menjadi penyebab sebagian besar pengajar DDI dan para muridnya berhijrah ke kota Majene dan daerah lainnya bersama masyarakat Baruga.

Karena telah mendarah dagingnya DDI dan kecintaan yang besar pada ilmu dalam diri mereka, sehingga setelah berdomisili di kota Majene kegiatan pendidikan pun terus mereka lanjutkan. Akhirnya aktivitas DDI Baruga dengan sendirinya berpusat di kota Majene. Di sana Andonggurutta H. M. Adil ditujuk menjadi pengelola, sedang yang menjabat kepala Madrasah adalah Andonggurutta Kyai Abdul Rahim.25

Kenyataan ini pula yang menyebabkan berdirinya beberapa madrasah DDI di beberapa tempat, di antaranya; pada tahun 1952 berdiri madrasah DDI Lombokna, kemudian tahun 1954 berdiri madrasah DDI Malunda, selanjutnya tahun 1956 menyebrang ke Passa’bu di Kabupaten Mamuju. Selain itu ke jurusan timur berdiri lagi madrasah DDI Mapilli tahun 1955.26

3. Perpindahan DDI dari Kota Majene kembali ke Baruga

Setelah keadaan sudah mulai kembali stabil dan aman, pusat DDI Baruga yang bertempat di Majene akhirnya dikembalikan ke tanah asalnya di Baruga pada tahun 1970. Dalam proses perpindahannya, DDI Baruga tidak serta merta langsung di tempatkan di Baruga, tetapi ia sempat singgah di Simullu dengan nama MWP DDI (sekarang menjadi MIN Simullu). Setelah dari Simullu barulah ia dipindahkan ke Baruga dengan membangun gedung sekolah di Asoppeng (yang sekarang menjadi lokasi Pesantren Ihyaul’Ulum DDI Baruga).27

Setelah DDI Baruga resmi kembali ke Baruga dan aktivitas pendidikannya sudah kembali normal, maka pada tahun 1970 para tokoh DDI Baruga merasa perlu mendatangkan Andonggurutta KH. Nur Husain ke Baruga yang pada waktu itu masih berdomisili di Makassar untuk datang melanjutkan dan mengelola madrash DDI Baruga.28

  1. 4. Dari Madrasah DDI ke Pondok Pesantren

Penanggung jawab kemajuan dan keberhasilan usaha-usaha DDI Baruga dengan penuh semangat terus Madrasah DDI Baruga yang menyelenggarakan dua jenjang pendidikan, yaitu Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah yang mengikuti kurikulum Departemen Agama terus berjalan dan berproses dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Pengurus Cabang DDI Baruga yang mendapat amanah dari Pengurus Besar DDI melakukan usaha-usaha pengembangan, sehingga tercetuslah keinginan bersama untuk menjadikan madrasah DDI menjadi Pondok Pesantren DDI di Baruga. Keinginan para tokoh DDI Baruga tersebut cukup beralasan karena Baruga memiliki unsur-unsur utama yang sangat dominan, Baruga memiliki potensi dan peluang besar untuk pendirian Pondok Pesantren. unsur-unsur utama yang sangat dominan yaitu:

  1. Penyelenggaraan pendidikan/ pengajian pondokan yang selama ini telah berjalan sejak berdirinya DDI Baruga sehingga sekarang walau pernah mengalami pasang surut. Hal ini memerlukan penjelajahan orientasi dan pengelolaan secara administrasi.
  2. Potensi lingkungan berupa kekayaan alam dan masih luasnya lahan pertanian yang perlu mendapat perhatian, tenaga terampil dan menguasai bidangnya. Tenaga demikian dimungkinkan lahir dari kader Pondok Pesantren.
  3. Kondisi sosial masyarakat Baruga dengan ciri senang bergotong-royong dan bahu-membahu untuk kepentingan umum, pembangunan bangsa dan negara. Kondisi semacam ini perlu dilestarikan dan dimanfaatkan, sekaligus menjadi angin segar bagi keberlansungan hidup sebuah Pondok Pesantren.29

Berdasarkan pengamatan tersebut, maka mulailah Pengurus Cabang DDI Baruga mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan menjadikan kedua madrasah tersebut menjadi Pondok Pesantren. Dalam rapat Pengurus Cabang DDI Baruga tanggal 1 Januari 1985 M./ 9 Rabiul Akhir 1405 H. lahirlah kesepakatan bersama untuk memekarkan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah menjadi Pondok Pesantren dan untuk penentuan namanya diserahkan sepenuhnya kepada PB DDI untuk menentukannya.

Dari lima nama yang diusulkan dan diajukan Pengurus Cabang DDI Baruga ke Pengurus Besar DDI yaitu; Ar-Rahman, Al-Mubarak, Al-Barakah, Darud Rahman dan Ihyaul Ulum, pilihan Pengurus Besar DDI ternyata jatuh pada nama yang terakhir yaitu Ihyaul Ulum. Pengurus Besar DDI selanjutnya mengeluarkan Surat Keputusan PB DDI, Nomor: PB/ B-II/ 26/ IV/ 1985 tertanggal 25 April 1985 M./ 5 Sya’ban 1405 H., maka resmilah berdirinya Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Addariyah DDI Baruga atas restu Rais Majlis A’la PB DDI Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle.30

Dengan demikian, inisiatif pendirian Pondok Pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga lahir berdasarkan kesepakatan Pengurus Cabang DDI Baruga dalam musyawarah yang berlangsung pada tanggal 1 Januari 1985, kemudian pendiriannya direstui oleh Pengurus Besar DDI berdasarkan Surat Keputusan Nomor: PB/ B-II/ 26/ IV/ 1985 tertanggal 25 April 1985. Acara peresmiannya secara formal dilaksanakan pada tanggal 12 Mei 1985 M. yang dihadiri dan diresmikan langsung oleh Andonggurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle.31

1 Istilah Andonggurutta adalah sebutan guru besar atau maha guru dalam bahasa Mandar. Dalam bahasa Bugis dikenal dengan nama Anregurutta dan di Jawa dikenal dengan istilah Kyai.

2 Ruslam,et all, Ulama Sulawesi Selatan; Biografi Pendidikan dan Dakwah (Cet. I; Makassar: MUI Sulsel, 2007), h. 255.

3Ibid., h. 22

4 Muiz Kabry, Darud Da’wah Wal Irsyad; Dalam Simpul Sejarah Kebangkitan dan Perkembangannya (Makassar: PB DDI, 2006), h. 2-3

5Ibid., h. 4

6 H. Fatani Tayyeb, Tokoh Pendiri DDI Cabang Baruga, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008

7 H. Fatani Tayyeb, Tokoh Pendiri DDI Cabang Baruga, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008

8 H. Fatani Tayyeb, Tokoh Pendiri DDI Cabang Baruga, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008

9 H. Fatani Tayyeb, Tokoh Pendiri DDI Cabang Baruga, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008

10 H. Fatani Tayyeb, Tokoh Pendiri DDI Cabang Baruga, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008

11 H. Fatani Tayyeb, Tokoh Pendiri DDI Cabang Baruga, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008

12 H. Fatani Tayyeb, Tokoh Pendiri DDI Cabang Baruga, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008. Memperhatikan sejarah di atas, maka ditemukan kejelasan bahwa MAI Baruga dengan MAI Sengkang tidak mempunyai hubungan secara kelembagaan, tetapi keduanya tidak dapat terpisahkan karena banyak dari tokoh-tokoh MAI Baruga merupakan alumni dari MAI Sengkang.

13Andonggurutta KH. Ahmad Ma’ruf, Tokoh Ulama Sulawesi Barat dan Pembina Pengajian Kitab di Pondok Pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga, “Wawancara”, di Majene tanggal 11 Juni 2008, H. Fatani Tayyeb, Tokoh Pendiri DDI Cabang Baruga, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008

14 H. Zainuddin Muhammad, Ketua STAI DDI Majene, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008

15Andonggurutta KH. Ahmad Ma’ruf, Tokoh Ulama Sulawesi Barat dan Pembina Pengajian Kitab di Pondok Pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga, “Wawancara”, di Majene tanggal 11 Juni 2008.

16 H. Fatani Tayyeb, Tokoh Pendiri DDI Cabang Baruga, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008. Hal senada juga disampaikan oleh Andonggurutta KH. Ahmad Ma’ruf, Tokoh Ulama Sulawesi Barat dan Pembina Pengajian Kitab di Pondok Pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga, “Wawancara”, di Majene tanggal 11 Juni 2008

17 H. Zainuddin Muhammad, Ketua STAI DDI Majene, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008

18 Muiz Kabry, op.cit., h. 2. Lihat pula Azhar Arsyad, et all, Ke-DDI-an; Sejarah dan Pandangan Kontemporer (cet. I; Makassar: LKPMP-Pengurus Besar DDI bekerja sama The Asia Foundation, 2003), h. 30-31

19 Muiz Kabry, ibid., h. 7. Azhar Arsyad, ibid.

20 Muiz Kabry, ibid. Azhar Arsyad, ibid.

21 Masykur Djalil, sekertaris Pengurus Daerah DDI Kabupaten Majene, “Wawancara”, di Majene tanggal 6 Juni 2008. H. Fatani Tayyeb, Tokoh Pendiri DDI Cabang Baruga, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008. H. Zainuddin Muhammad, Ketua STAI DDI Majene, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008

22 H. Zainuddin Muhammad, ketua STAI DDI Kabupaten Majene, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008.

23 H. Zainuddin Muhammad, ketua STAI DDI Kabupaten Majene, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008.

24 H. Zainuddin Muhammad, Ketua STAI DDI Majene, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008. Di Sulsel pada masa itu dikenal sebagai pemberontakan DI-TII di bawah Pimpinan Kahar Muzakkar di samping pemberontakan gerombolan-gerombolan lainnya. Alasan pemberontakan mereka semata-mata merupakan letupan ketidakpuasan para mantan pejuang gerilya yang tergabung dalam Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) terhadap kebijakan pemerintah pusat. Ketidakpuasan mereka kemudian berkembang menjadi masalah harga diri (siri’na pesse). Azhar Arsyad, et all., op.cit., h. 31-32

25 DDI setelah pindah ke Majene statusnya masih Tahdiriyah atau Ibtidaiyah 3 tahun, belum menjadi MTs, maupun Aliyah. Nanti setelah di Majene, baru kemudian dikembangkan menjadi PGAP DDI dan kemudian berubah menjadi PGA DDI dan akhirnya berubah menjadi Madrasah Aliyah DDI. ini terjadi sekitar tahun 1965-an. H. Zainuddin Muhammad, Ketua STAI DDI Majene, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008.

26 Muhammad Jabir Hafidz, Wakil Pimpinan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga Kabupaten Majene, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008.

27 H. Zainuddin Muhammad, Ketua STAI DDI Majene, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008

28 H. Zainuddin Muhammad, Ketua STAI DDI Majene, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008

29Andonggurutta KH. Nasruddin Rahim, Pimpinan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga dan Pengurus Daerah DDI Kabupaten Majene, “Wawancara”, di Majene tanggal 3 Juni 2008.

30Andonggurutta KH. Nur Husain, BA., Mantan Pimpinan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga dan ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Majene, “Wawancara”, di Majene tanggal 10 Juni 2008.

31 Muhammad Jabir Hafidz, Wakil Pimpinan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga Kabupaten Majene, “Wawancara”, di Majene tanggal 8 Juni 2008.